Jakarta, Kompas - Masalah mendasar dalam penyelenggaraan pendidikan menjadi hambatan terbesar dalam upaya peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Salah satu persoalan itu adalah ketersediaan ruang belajar yang memadai, termasuk banyak sekolah di Indonesia tak layak menjadi tempat belajar.
Demikian dikemukakan Direktur Jenderal Pendidikan Luar Sekolah dan Pemuda Departeman Pendidikan Nasional Fasli Jalal dalam Dialog Komunitas Pendidikan III yang diadakan The Centre for the Betterment of Education (CBE) di Ciawi-Bogor, Senin (7/4).
"Tak usah bicara mutu, jangan bicara yang canggih-canggih, memenuhi yang dasar saja kita belum bisa," kata Fasli Jalal.
Persoalan mutu pendidikan yang terabaikan di Indonesia oleh penyelenggara pendidikan maupun pemerintah menjadi salah satu topik bahasan dalam pertemuan yang diikuti oleh kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) pendidikan, guru, masyarakat, dan pemerintah tersebut.
Menurut Fasli, masalah-masalah mendasar sekolah, seperti penyediaan ruang belajar memadai, ketersediaan buku pelajaran bagi semua peserta didik, dan ketersediaan guru yang memiliki kompetensi mengajar siswa belum terpenuhi dengan baik.
"Jika gedung-gedung sekolah banyak yang rusak, tidak memadai untuk kegiatan pendidikan dan pengajaran, bagaimana kita berharap pembelajaran berjalan dengan baik," kata Fasli.
Dia menambahkan, banyak sekolah di Indonesia tak layak menjadi tempat belajar. Sebanyak 49 persen bangunan sekolah dasar (SD) yang ada di Indonesia tak layak pakai. Selain itu 20 persen bangunan SD harus direhabilitasi total karena rusak berat.
Sebuah survei tentang ketersediaan buku di sekolah menunjukkan, persentase ketersediaan buku di sekolah hanya 20 persen. Artinya, satu set buku digunakan untuk lima siswa. Padahal, pemerintah memprogramkan ketersediaan satu buku (teks wajib) untuk satu siswa. Kelayakan guru dalam mengajar pun, diakui Fasli, masih sangat rendah. Akibat lebih lanjut, keluaran (output) yang dihasilkan pendidikan di Tanah Air seperti yang terlihat sekarang.
Dalam dialog soal pendidikan yang diadakan untuk menyambut Sepekan Aksi Pendidikan untuk Semua 2003, mulai 9 April mendatang itu, seorang peserta mempertanyakan di mana peran pemerintah dalam program Pendidikan untuk Semua (PUS) atau Education for All itu. Demikian juga mengenai adanya kecenderungan pemerintah membuat proyek-proyek untuk menjalankan program kerjanya.
Dialog oleh CBE diadakan berkaitan dengan program Pendidikan untuk Semua yang dideklarasikan tahun 1990 di Jomtien, Thailand, dan tahun 2000 di Dakar, Senegal. Pemerintah Indonesia termasuk negara yang menandatangani kesepakatan tersebut. Dengan demikian, Indonesia harus memenuhi komitmen seperti memastikan kesempatan pendidikan yang setara bagi semua anak, anak berkebutuhan khusus dan anak korban konflik.
Selain itu juga harus mengurangi tingkat buta huruf, terutama pada anak perempuan, menyediakan pendidikan dan program pelatihan kecakapan bagi orang dewasa, memperluas pendidikan bagi anak usia dini sampai meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan. (TRI)
Dialog oleh CBE diadakan berkaitan dengan program Pendidikan untuk Semua yang dideklarasikan tahun 1990 di Jomtien, Thailand, dan tahun 2000 di Dakar, Senegal. Pemerintah Indonesia termasuk negara yang menandatangani kesepakatan tersebut. Dengan demikian, Indonesia harus memenuhi komitmen seperti memastikan kesempatan pendidikan yang setara bagi semua anak, anak berkebutuhan khusus dan anak korban konflik.
Follow This BlogSUMBER : http://webcache.googleusercontent.com/search?q=cache:L1n7OPofhQkJ:perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file%3Ffile%3Ddigital/blob/F18018/Banyak%2520Sekolah%2520Tidak%2520Layak%2520Pakai%2520di%2520Indonesia.htm+sekolah+indonesia+tidak+layak&cd=2&hl=id&ct=clnk&gl=id