Tapi malam ini, akhirnya saya kembali menengok blog saya, yang kalo diibaratkan perabot pasti udah pada berdebu semua nih (*hempas kemoceng), untuk membahas secara spesifik salah satu postingan saya di instagram. Bunyinya seperti ini:
"Senangnya dibeliin meja kerja buat di rumah Bekasyong sama kesayangan @calcul88 tau aja kalo istrinya bagaikan kumang, susah ninggalin rumah. Hehe.. Dari pagi seru dekor-dekor & sekarang utak utek depan meja bikin Zey's Intelligence Map. Ahk.. Nothing sophisticated, ini cuma corat coret seorang makmak yang percaya bahwa mengurus anak itu bukan sekedar supaya anak sehat, tapi juga happy & content.. Bahwa aneka intelligence, akidah, & akhlak penting banget untuk diasah sebelum terjun ke dunia pendidikan yang sebenernya (melibatkan sekolah, baca tulis, dll). Dan bahwa it's my main duty as her mother to make sure Zey tumbuh dengan seimbang di semua aspek intelligence ini.. Nothing theoretical in this. Hanya kompilasi dari hasil baca-baca & akhirnya percaya bahwa kecerdasan yg perlu ditanamkan oleh org tua sebelum anak terjun bersosialisasi ke dunia yang lebih luas adalah:
1. Environmental
2. Adversity
3. Creativity
4. Spiritual
5. Emotional
6. Intellectual
2. Adversity
3. Creativity
4. Spiritual
5. Emotional
6. Intellectual
Dan saya janji sama para mommies untuk membagi lebih detail tentang hal ini. So here we go..
Sebelumnya saya ingatkan lagi bahwa saya menulis ini bukan karena saya semata-mata ahli dalam mengurus anak, hal-hal di bawah ini sebenarnya sudah saya terapkan pada Zey sejak lama, dan saya juga cukup sering baca-baca mengenai hal ini, tapi baru sempat sekarang untuk benar-benar menuangkannya dalam gambar yang lebih rapi (biar gak lupa lagi ke depannya). Hehehe..
1. Environmental Quotient
Yang saya maksud dengan kecerdasan lingkungan disini adalah bagaimana anak-anak dapat merasa menjadi bagian dari sebuah ekosistem, memahami posisi umat manusia dalam tatanan ekosistem bumi (sebagai penjaga, bukan hanya eksploitasi), memupuk kecintaan anak terhadap sesama makhluk hidup, membuat anak merasa nyaman dengan alam, & mendorong anak untuk mampu berpikir secara sistem bahwa setiap hal yang dia lakukan bisa berdampak lebih besar terhadap lingkungannya.
Misal: kenapa harus menyimpan sampah pada tempatnya? Kemana sampah itu pergi setelah kita buang? Apa yang terjadi jika kita tidak menyimpan sampah pada tempatnya?
Contoh kegiatan yang bisa dilakukan:
- piknik
- earthing atau menginjak tanah/rumput tanpa sandal
- camping (or in my case pasang tenda di halaman depan rumah. Lol)
- jalan atau sepedaan pagi sambil mengidentifikasi jenis-jenis daun/bunga yang ada di sekitar rumah
- ke kebun binatang
- memelihara hewan
- story telling terkait tema alam/environmentally friendly lifestyle
So, jadi penting banget piknik itu, jangan sampai kurang piknik. Hehehe.. Memberikan anak kontak dengan alam secara rutin juga memberikan beberapa manfaat, diantaranya:
- meningkatkan kemampuan kognitif anak
- mengurangi stress pada anak
- meningkatkan kemampuan berfikir & menyelesaikan masalah
(selengkapnya bisa dibaca di link ini)
2. Adversity Quotient
Poin kedua ini terkait dengan kemampuan anak untuk beradaptasi dan mengatasi masalah di lingkungannya. Bahasa kerennya adalah strong human resillience. Soft skill banyak terkandung di quotient yang satu ini, dan gawatnya, skill-skill ini tidak diajarkan di sekolah. Hmmm.. Mungkin juga karena sebagian besar skill disini hanya bisa dipelajari dengan melihat contoh langsung (orang tua), dan pengalaman sendiri (exposure). Dalam pemahaman saya, dalam adversity quotient terkandung:
- Life skill
- Time management
- Bagaimana anak dapat bertanggung jawab pada setiap tindakannya
- strategic thinking; bagaimana anak dapat memikirkan sebuah solusi
Contoh kegiatan yang bisa dilakukan:
- memberikan household chores atau tugas rumah tangga kepada anak
- selalu mengajak anak membereskan kembali mainannya setelah main (mengajak ya, moms.. bukan menyuruh)
- Menyampaikan cerita yang dapat menstimulasi cara berpikir anak. Misal: timun Pak Petani setiap malam dicuri si kancil, kira-kira apa ya yang harus dilakukan si petani?
- Tidak selalu langsung membantu jika anak mengalami kesulitan. Amati saja dulu dari jauh dan jika masalah tak kunjung selesai, tawarkan untuk membantu. Tawarkan.. Jangan langsung ambil alih.
3. Creative Quotient
Di era serba cepat dan serba ada ini, menurut saya penting untuk mengasah kreatifitas anak. Hal-hal terkait creative quotient ini adalah:
- bagaimana anak bisa memunculkan ide-ide baru
- bagaimana anak bisa menganalogikan sesuatu
- bagaimana anak dapat mengekespresikan dirinya
Contoh kegiatan yang bisa dilakukan:
- Mengamati bakat & minat seni anak, apakah ke musik, gambar, hand craft, acting maybe? Lalu asah dalam playtime bersama
- 'reverse engineering'. Haha.. Ini sih bahasa asal saya aja untuk kegiatan kami merekonstruksi sesuatu. Misalnya dadar telor, saya ajak dia membuat dadar telor dan selama prosesnya saya jelaskan ini akan jadi apa, kenapa prosesnya begini, kenapa begitu.
- melukis bersama (melukis di kertas, di tembok, di batu, dll)
- menyanyi bersama
- menari bersama
- main lego atau mainan bongkar pasang lainnya.
- main play doh
4. Spiritual Quotient
Nah ini nih yang menurut saya penting banget banget untuk ditanamkan bahkan sebelum anak masuk sekolah. Tidak, bukan sekedar anak hapal surat-surat dan doa pendek, menurut saya spiritual quotient terkait dengan:
- Aqidah, akhlak, ibadah (lihat urutannya, akidah dulu, akhlak, ibadah. Doa-doa & bacaan-bacaan merupakan salah satu tatacara ibadah, bisa disupport dengan pelajaran di sekolah, tapi akidah & akhlak menurut saya paling efektif jika diajarkan & dicontohkan oleh orang tua langsung.
- Mengerti akan tujuan hidup (untuk beribadah, manusia sebagai khalifah, manusia sebagai pemimpin untuk dirinya sendiri)
- Perasaan dekat & takut pada Allah
Contoh kegiatan yang bisa dilakukan (disesuaikan dengan keyakinan & kepercayaan masing-masing):
- Story telling, membacakan kisah shiroh Nabi & Rasul
- Obrolan ringan di sela-sela play time tentang siapa Tuhanmu? Zey asalnya dari mana? Siapa yang selalu bersama kita setiap saat?
- Mengaji bersama sebelum tidur (setidaknya surat-surat pendek yang disunahkan untuk dibaca sebelum tidur)
- Shalat bersama
- Berhenti beraktifitas & mendengarkan adzan saat berkumandang
5. Emotional Quotient
Menurut fast result nya Mbah Google, EQ atau emotional Quotient adalah "a “person's ability to identify, evaluate, control and express emotions.” It helps us communicate with others, negotiate situations and develop clear thought patterns." Sepemahaman saya pribadi, yang esensial adalah anak belajar mengenali emosi (diri sendiri & orang lain) & cara menghadapinya.
Contoh kegiatan yang bisa dilakukan:
- Menyampaikan kepada anak emosi kita sendiri. "Mim sedih Zeya tidak dengar mim..", "Mim takut, kalau gak shalat nanti gak disayang Allah..", "Mim senang, Zeya hari ini baik sekali.." dsb. (Akan lebih berasa lagi kalau kita ngomongnya disertai mimik & ekspresi yang mendukung. Acting mode ON. Hehehe)
- Membantu anak mengenali emosinya sendiri. Misal, saat kami berbelanja dan dia rewel, instead of bilang "Sssstt.. Udah jangan rewel", saya bilang: "Zeya bosan? Kesal karena ingin cepat ambil surprise egg?", saat dia berlagak so sweet tiba-tiba datang & mencium saya, "Zeya senang, ya Mim seharian di rumah?", dsb. After acknowledging their feeling, give them solution to make themselve feel better. Misal: "Zeya bosan? Kesal karena ingin cepat ambil surprise egg? Kita bersabar sebentar ya, gimana kalau Zeya bantu Mim pilih selai mana yang harus kita beli?"
- Jangan 'menampik' emosi. Misal: saat anak menangis karena berebut mainan dengan temannya atau dipukul (terpukul) oleh temannya, jangan bilang "udah jangan nangis, gak apa-apa kok." because sometimes it's not okay for them. Instead, jauhkan dari hal-hal yang membuat dia kesal dan bilang "Mim tahu pasti sakit ya? People get hurt sometimes, do you need a hug?
- (again) story telling. Tuangkan koonflik harian seperti berebut mainan, sedih ditinggal ayah kerja, tidak sabar menunggu sesuatu, dll ke dalam cerita. Jangan jadikan anak tokoh utamanya, tapi ceritakan tentang solusi yang dilakukan si tokoh. Tidak perlu secara eksplisit menceritakan moral dari cerita, children are super clever, they will get it.
More about how to build EQ in this link.
6. Intellectual Quotient
Jaman dulu, kayanya ini yang paling penting. Bahkan seingat saya, selama masa pendidikan formal (baca: sekolah), saya sempat beberapa kali mengalami tes IQ. Hasilnya? Biasa aja sih.. Haha.. Nah tapi seiring berkembangnya jaman, ternyata ditemukan quotient-quotient lain yang gak kalah pentingnya. IQ terkait dengan kemampuan berfikir logis, kemampuan berbahasa (lisan, tulisan), problem solving, dll. Jadi, tetap penting juga sih untuk mengasah si IQ ini..
Contoh kegiatan yang bisa dilakukan:
- Jangan banyak 'jangan'. Be open to 'experiments', unless it leads to danger (seperti bermain kompor), di luar itu, let them explore. Seringkali saya menemukan Zey sudah berbalur tepung, atau tetiba memegang gunting, atau sudah cemong karena bereksperimen dengan muka saya. Shock sih, tapi saya selalu berusaha tenang & tanya aja baik-baik apa maksudnya "wow.. It's a mess, Zey! Tepung buat apa? Mendoan ya? Yuk bantu mim ambil sapu kita bereskan yuk". Atau untuk kasus gunting, "Zey, itu tajam kan? Zeya mau coba gunting? Boleh mim bantu dulu supaya gak celaka?" dan biasanya ujung-ujungnya saya contohkan cara pakainya sambil dikasih tau bahwa dia tetap harus minta izin saya dulu & harus bareng saya jika ingin bermain dengan 'mimim's stuffs'. Hasilnya? Saya aja sampe amaze sendiri di usia 2,5 tahun Zey udah bisa pegang gunting kecil dengan baik & bahkan menggunting lurus.
- It's okay to not always entertain them.
- Biarkan mereka punya 'quite time' nya sendiri. Kadang kalau lihat Zey lagi anteng main sendiri saya suka gateeeelll pengen nimbrung, tapi harus tahan.
- Biarkan mereka mencoba banyak hal.
- Berkreasi bersama. Memasak bersama (saya potong bawang, dia potong tahu pake pisau roti),
- Role play. Jangan malu jadi anak kecil lagi! Hehe.. Get your costume & put your silly face. Bermain pura-puraan bisa mengasah kemampuan anak untuk mengenali macam-macam karakter orang.
- Berikan banyak kesempatan mereka untuk membuat pilihan. In this case, bukan hanya mengasah kemampuan berfikir mereka, tapi juga bisa meningkatkan kepercayaan diri. I let Zeya choose for whatever she wants in a day, karena anak-anak itu gak suka disuruh. Jadi misalnya, instead of "Zey ayo gosok gigi!" yang sudah pasti dijawab "no" karena entah mengapa toddlers are so in love with the 'no' word, saya bilang "Zey, mau gosok gigi pakai odol pedes atau odol blueberry?" (ujung-ujungnya pasti gosok gigi juga karena gak ada pilihan jawaban 'no'. Wkwk). Atau contoh lain saat dia sudah keasyikan main youtube, daripada bilang "sini udah dulu, HP nya mim ambil ya" yang sudah pasti akan menyebabkan perang dunia 3, saya bilang "Zey, waktu nonton sudah habis. Zeya mau simpan HP nya sekarang atau Mim hitung sampai 10 dulu?"
Itulah 6 quotient yang menurut saya penting untuk distimulasi secara seimbang oleh orang tua. Tapi, walaupun itu semua penting, always remember that every child is different and they have their own time. Jangan terjebak dengan standar yang kita tetapkan sendiri, instead belajarlah untuk lebih memahami minat, bakat, keinginan, & kemampuan anak sehingga tumbuh hubungan saling percaya yang kuat antara orang tua & anak. Jika itu sudah terjadi, menurut saya akan lebih mudah untuk mengarahkan anak (hopefully. Hehe).
Contoh kegiatan yang bisa dilakukan (disesuaikan dengan keyakinan & kepercayaan masing-masing):
- Story telling, membacakan kisah shiroh Nabi & Rasul
- Obrolan ringan di sela-sela play time tentang siapa Tuhanmu? Zey asalnya dari mana? Siapa yang selalu bersama kita setiap saat?
- Mengaji bersama sebelum tidur (setidaknya surat-surat pendek yang disunahkan untuk dibaca sebelum tidur)
- Shalat bersama
- Berhenti beraktifitas & mendengarkan adzan saat berkumandang
5. Emotional Quotient
Menurut fast result nya Mbah Google, EQ atau emotional Quotient adalah "a “person's ability to identify, evaluate, control and express emotions.” It helps us communicate with others, negotiate situations and develop clear thought patterns." Sepemahaman saya pribadi, yang esensial adalah anak belajar mengenali emosi (diri sendiri & orang lain) & cara menghadapinya.
Contoh kegiatan yang bisa dilakukan:
- Menyampaikan kepada anak emosi kita sendiri. "Mim sedih Zeya tidak dengar mim..", "Mim takut, kalau gak shalat nanti gak disayang Allah..", "Mim senang, Zeya hari ini baik sekali.." dsb. (Akan lebih berasa lagi kalau kita ngomongnya disertai mimik & ekspresi yang mendukung. Acting mode ON. Hehehe)
- Membantu anak mengenali emosinya sendiri. Misal, saat kami berbelanja dan dia rewel, instead of bilang "Sssstt.. Udah jangan rewel", saya bilang: "Zeya bosan? Kesal karena ingin cepat ambil surprise egg?", saat dia berlagak so sweet tiba-tiba datang & mencium saya, "Zeya senang, ya Mim seharian di rumah?", dsb. After acknowledging their feeling, give them solution to make themselve feel better. Misal: "Zeya bosan? Kesal karena ingin cepat ambil surprise egg? Kita bersabar sebentar ya, gimana kalau Zeya bantu Mim pilih selai mana yang harus kita beli?"
- Jangan 'menampik' emosi. Misal: saat anak menangis karena berebut mainan dengan temannya atau dipukul (terpukul) oleh temannya, jangan bilang "udah jangan nangis, gak apa-apa kok." because sometimes it's not okay for them. Instead, jauhkan dari hal-hal yang membuat dia kesal dan bilang "Mim tahu pasti sakit ya? People get hurt sometimes, do you need a hug?
- (again) story telling. Tuangkan koonflik harian seperti berebut mainan, sedih ditinggal ayah kerja, tidak sabar menunggu sesuatu, dll ke dalam cerita. Jangan jadikan anak tokoh utamanya, tapi ceritakan tentang solusi yang dilakukan si tokoh. Tidak perlu secara eksplisit menceritakan moral dari cerita, children are super clever, they will get it.
More about how to build EQ in this link.
6. Intellectual Quotient
Jaman dulu, kayanya ini yang paling penting. Bahkan seingat saya, selama masa pendidikan formal (baca: sekolah), saya sempat beberapa kali mengalami tes IQ. Hasilnya? Biasa aja sih.. Haha.. Nah tapi seiring berkembangnya jaman, ternyata ditemukan quotient-quotient lain yang gak kalah pentingnya. IQ terkait dengan kemampuan berfikir logis, kemampuan berbahasa (lisan, tulisan), problem solving, dll. Jadi, tetap penting juga sih untuk mengasah si IQ ini..
Contoh kegiatan yang bisa dilakukan:
- Jangan banyak 'jangan'. Be open to 'experiments', unless it leads to danger (seperti bermain kompor), di luar itu, let them explore. Seringkali saya menemukan Zey sudah berbalur tepung, atau tetiba memegang gunting, atau sudah cemong karena bereksperimen dengan muka saya. Shock sih, tapi saya selalu berusaha tenang & tanya aja baik-baik apa maksudnya "wow.. It's a mess, Zey! Tepung buat apa? Mendoan ya? Yuk bantu mim ambil sapu kita bereskan yuk". Atau untuk kasus gunting, "Zey, itu tajam kan? Zeya mau coba gunting? Boleh mim bantu dulu supaya gak celaka?" dan biasanya ujung-ujungnya saya contohkan cara pakainya sambil dikasih tau bahwa dia tetap harus minta izin saya dulu & harus bareng saya jika ingin bermain dengan 'mimim's stuffs'. Hasilnya? Saya aja sampe amaze sendiri di usia 2,5 tahun Zey udah bisa pegang gunting kecil dengan baik & bahkan menggunting lurus.
- It's okay to not always entertain them.
- Biarkan mereka punya 'quite time' nya sendiri. Kadang kalau lihat Zey lagi anteng main sendiri saya suka gateeeelll pengen nimbrung, tapi harus tahan.
- Biarkan mereka mencoba banyak hal.
- Berkreasi bersama. Memasak bersama (saya potong bawang, dia potong tahu pake pisau roti),
- Role play. Jangan malu jadi anak kecil lagi! Hehe.. Get your costume & put your silly face. Bermain pura-puraan bisa mengasah kemampuan anak untuk mengenali macam-macam karakter orang.
- Berikan banyak kesempatan mereka untuk membuat pilihan. In this case, bukan hanya mengasah kemampuan berfikir mereka, tapi juga bisa meningkatkan kepercayaan diri. I let Zeya choose for whatever she wants in a day, karena anak-anak itu gak suka disuruh. Jadi misalnya, instead of "Zey ayo gosok gigi!" yang sudah pasti dijawab "no" karena entah mengapa toddlers are so in love with the 'no' word, saya bilang "Zey, mau gosok gigi pakai odol pedes atau odol blueberry?" (ujung-ujungnya pasti gosok gigi juga karena gak ada pilihan jawaban 'no'. Wkwk). Atau contoh lain saat dia sudah keasyikan main youtube, daripada bilang "sini udah dulu, HP nya mim ambil ya" yang sudah pasti akan menyebabkan perang dunia 3, saya bilang "Zey, waktu nonton sudah habis. Zeya mau simpan HP nya sekarang atau Mim hitung sampai 10 dulu?"
Itulah 6 quotient yang menurut saya penting untuk distimulasi secara seimbang oleh orang tua. Tapi, walaupun itu semua penting, always remember that every child is different and they have their own time. Jangan terjebak dengan standar yang kita tetapkan sendiri, instead belajarlah untuk lebih memahami minat, bakat, keinginan, & kemampuan anak sehingga tumbuh hubungan saling percaya yang kuat antara orang tua & anak. Jika itu sudah terjadi, menurut saya akan lebih mudah untuk mengarahkan anak (hopefully. Hehe).